Kamis, 07 Januari 2010

“REFLEKSI AKHIR TAHUN 2010”

Misi ritual

Suasana sunyi selain instrument music(mencoba membawa penonton focus dalam pementasan).selang beberapa waktu….

(suara bertutur soal hidup)
….”berbicara soal hidup,semua sudah tahu.aku,kau,dan kau hidup.tinggal kita belajar untuk hidup kembali.mungkin logika bertanya:”apakah aku telah mati”?.pertanyaan yang selalu bertanya-tanya.tidak akan selesai.sampai kapanpun.karena hidup yang sesungguhnya terpatri pada diri.pada keyakinan yang utuh.tanpa ragu,selalu mantap,dan tenang serta.apapun alasan logika,itu bukan alasan sejati.perlu telaah serta pencarian.aku tak pernah menyalahkan logika.dan aku tak memihak keyakinan.aku hanya belajar mendamaikan keduanya.supaya seimbang dan bernilai tinggi,sesuai akal dan nurani.walau sedikit asa kukantong dalam diri,kumenjauh dari keputus asa.kemudian,kucoba membuat spirit baru demi sebuah perubahan.

(intensitas music crescendo/meninggi perlahan mengiringi,seakan akan terjadi sesuatu)
Selanjutnya…

Part 1
Sosok-sosok berpakaian putih datang dengan gerak mengalir(explore teste/kejiwaan).dengan pelan,pasti dan meyakinkan.seolah ada sesuatu yang ia cari.yang telah lama hilang darinya.
(kemudian posisi memantung tepat diatas panggung penonton,intensitas music berubah menjadi decressendo/menurun pelan dan meremang).tiba-tiba suara tabuhan djembe tarian tradisi memecah lembutnya suasana…
“terak tak tak tak tak…tung tak tung tung…tung tak tung tung”
(sosok-sosok putih menari berputar seakan mencipta kekuatan(spiritualitas)untuk menghadap hidup)

Setelah tarian selesai,sosok-sosok putih mematung bersamaan hentakan terakhir tabuhan djembe dan disertai kesatuan suara”hik yaa”!!

Part 2
Dan sang aku berkata dengan lembut suara(syair):”
(kemudian disusul instrument music)

Aku adalah dia yang bersembunyi dibalik dinding ragawi
Aku yang tak pernah memiliki essensi
Dan tampak mempunyai eksistensi
Aku dan dia selalu jalan bersama
Aku adalah kekasihnya
Dia adalah kekasihku
Dalam dada-dada kami telah terisi cinta
Dia memuja dan mengagumiku
Kuterima dengan sepenuhnya
Bahwa kujuga memuja dan mengaguminya
Dalam perjalanan waktu
Kuarungi keindahan-keindahan tercipta
Penuh warna penuh pesona
Namunku tak akan pernah meninggalkan dia
Dalam kesendirian dan kesunyian perjalanan waktu


(song;perjalanan waktu by iwan fals)
Next on….(syair)

Perjalanan waktu
Dengan waktu
Aku dan dia akan berpisah
Kerena ada takaran perjumpaaan
Aku juga tidak tahu
Kapan perjumpaan kami dimulai
Dan kapan pula kami akan berpisah
Tetapi kuyakin apa yang telah menjadi keyakinanku
Ialah cinta
Yang mana aku dengan segala keakuanku
Aku tak bisa untuk mengurainya
Apa itu cinta
Adakah cinta dihati kita
Pernahkah kita mencinta
Adakah sisa cinta pada tiap palung-palung nurani kita
Ataukah tidak sama sekali ada cinta
Jangan-jangan palung-palung nurani kita sudah tiada
Mati
Binasa
Sirna
Dan berubah menjadi sangkala yang akan menghancurkan semua
Apakah itu yang menjadi keinginan
Apakah itu yang menjadi hasrat
Tidakkah kita berpikir dan merasa
Selayaknya manusia tercipta
Ataukah kita telah memilih menjadi sangkala
Yang selalu membabi buta segala


(song;sangkala by iwan fals)
Next on…..(syair)

Cinta
Cinta
Cinta
Semua suka berbicara cinta
Enak didengar
Nyaring dikuping
Seakan sudah menjadi kebenaran
Kalau sudah berbicara cinta
Disini aku takut
Sendiri kumelihat distorsi-distorsi alami
Aku bingung harus berbuat apa tentang cinta
Mataku telah menjadi rabun dan buta
Tak bisa memilah dan memilih
Karena yang kutahu hanya Satu
Dan satu
Semua telah menjadi kesatuan yang satu
Utuh
Tanpa ada cacat sama sekali
Satu
Satu
Satu
Satu
Satu
Satu
Satu


(song;cinta by iwan fals)
Next on……..(syair)


Dulu aku berpikir tentang cinta
Seperti apa cinta
Aku tak pernah menemukan
Apa itu cinta
Dan berulang-ulang kukembali
Mencari-cari sesuatu yang tak pernah tuk ditemui
Jiwaku sakit dan terkapar dalam kekeringan
Terluka
Dan terluka
Dalam ruang sepi yang panjang
Namun kutetapkan ketegaran yang dalam
Dari sunyinya jiwa
Mencoba kumengimani sesuatu yang telah kulalui
Dari waktu ke waktu
Bekas-bekas hidup kukumpulkan
Kurangkai menjadi satu
Kujadikan sebuah pemahaman baru
Di situ diskusi dengan jiwa dimulai
Yang telah lama membutuhkan teman setia
Dalam pencariannya
Terlihat ia bersuka ria
Damai dan sejahtera
Lantun dan puja puji melambung tinggi
Bertabur menjadi penerang gelap jiwanya
Berubah menjadi nyanyian-nyanyian jiwanya
Ya
Nyanyian jiwa yang sakit dan terluka


(song;nyanyian jiwa by iwan fals)
Next on………(syair)

Dan sampai saat ini
Aku mencoba menguatkan diri
Memasrahkan dan mengikhlaskan
Dari segala tikaman-tikaman tajam darinya
Kubuka dadaku dengan lebar
Bila kuterhujam tepat dijantung
Pasti aku mati
Lalu kulewati lorong dingin yang panjang
Sendiri
Sunyi
Sepi
Aku
Kau
Dan kau
Sama
Menuju jalan hitam yang satu
Kematian


(song;pada suatu ketika by sujiwo tejo)
End……
Nb :(semoga kita bisa merenungkan atas segalanya )


Karakter:
Sosok putih:bebas gerak(explorer teste/kejiwaan)

Misteri Alam Kosong

Januari 08, 2009 (Misteri)

Misteri demi misteri nampaknya sedemikian akrab dengan kehidupan Thalib. Termasuk juga, ketika sudah berdiam di Sidoarjo. Waktu itu, akhir bulan puasa, kondisi ekonomi lumayan susah. Lebaran kurang satu minggu, tidak ada uang sama sekali. Thalib dalam kondisi terjaga hingga pukul 1.30 dini hari. Dia keluar ke depan rumah, berdiri di pintu pagar, tiba-tiba merasa bengong, tidak melihat apa-apa dan tidak mendengar apa-apa, seperti berada di alam kosong. Kemudian dia berdoa, ”ya Allah beri saya kekuatan, saya mau dijadikan apa ini…. ” Tiba-tiba di langit sebelah selatan (rumahnya kebetulan menghadap selatan) muncul bentuk-bentuk yang tidak teratur, semrawut, berdiri, seperti kayu-kayu. Thalib berpikir, ”ini apa?” Tahu-tahu bentuk yang tak teratur tadi membentuk huruf Arab, terlihat dari jauh, jelas, berbunyi: Usholli dan seterusnya……. (Thalib tidak berani mengatakan).

Dia lalu berdoa lagi, ”ya Allah, kalau ini dari-Mu, saya mau yang lebih jelas, kalau godaan setan, hilangkanlah.” Thalib menunduk, ketika tengadah, huruf-huruf yang terasa jaraknya hanya 50 meter itu bergerak, bunyinya sama, lebih besar. Terbersit perasaan ngeri. Huruf Alifnya saja mulai tanah sampai setinggi langit. Lantas Thalib bertasbih, ”subhanallah walhamdulillah walaillaha illalah, allah hu akbar, wala kaula wala kuwata illah billah….. ” Kejadian berikutnya, alam kosong itu kembali ke sedia kala, ditandai dengan telinga sudah mendengar lagi, mata sudah melihat apa yang ada di jalan raya. Normal, ingat kembali. Selama peristiwa yang berlangsung sekitar seperempat jam ini, dia merasa dalam keadaan seperti penonton yang pasif, masih bisa berdoa, tapi merasa bingung, seperti di alam zero. ”Saya sampai sekarang tempat bertanya untuk hal-hal spiritual, namun saya tidak ingin mencari duit dari hal itu, hanya dari menggambar dan bisnis saja,” ujarnya merendah.

Diusir di Pabrik Kapur

Januari 08, 2009 (Anekdot)
Ketika sedang asyik melukis obyek pabrik kapur di suatu daerah, tahu-tahu seorang lelaki berbadan kekar mengendarai sepeda motor, berhenti persis di depannya.
”Sebentar, kamu tahu pabrik itu ada yang punya.”
”Ya tahu, wong langit saja juga ada yang punya kok.”
”Kamu tahu kalau menggambar itu ada ijinnya.”
”Ijin sama siapa?”
”Ya sama yang punya…”
Jengkel dengan gayanya yang mentang-mentang, Thalib langsung berdiri dan balik menggertak:
”Kamu tahu pangkatku?”
Lelaki itu menggeleng.
”Minggir,” Thalib mengibaskan tangannya, mengusir, lelaki tadi langsung pergi.
Dalam hati Thalib geli sendiri. Namun setelah itu konsentrasinya terganggu, tak bisa melukis lagi.

Pura-pura Jadi si Bisu

Januari, 08 2009. (Anekdot)
Ternyata, seorang Thalib masih ”pantas” berperan menjadi orang bisu. Ceritanya, waktu itu Thalib dan seorang teman seniman sedang berada di Jakarta. Keduanya hendak naik bus kota. Iseng-iseng Thalib menyombongkan diri pada temannya itu. ”Saya kalau naik bus kota itu bisa gratis, lihat saja nanti.” Temannya tidak yakin, dan Thalib hanya memberi syarat tegas, ”asal kamu jangan komentar satu katapun.”
Begitulah, ketika di dalam bus, tibalah kondektur menagih ongkos. Maka Thalib pun memainkan perannya sebagai orang bisu. Tangannya bergerak-gerak seperti bicara dalam bahasa isyarat. Kemudian dia menuliskan nama tempat yang menjadi tujuannya.
Si kondektur akhirnya mengerti yang dimaksudkannya.
”Oh ya, ya, gak usah bayar Pak, silakan.”
Dua orang penumpang yang duduk di depan Thalib sempat nyeletuk. ”Orang bisu kok bisa nulis yaaa….”
”Ya bisa, kan ada sekolahnya.”
”Sekolah apa”
”Ya sekolah bisu tuli”
Sementara itu, teman Thalib yang sejak tadi menguatkan diri untuk tidak berkomentar, merasa perutnya sakit menahan tawa. Begitu mereka berdua turun dari bus, langsung saja tawanya lepas. Thalib hanya komentar pendek, ”oo ternyata saya masih pantas akting jadi orang bisu…”.

Anekdot: Iso-iso ae tho..........

Januari, 8 2009.

Bercerita tentang M. Thalib, tak bisa dilepaskan dari koleksi anekdotnya yang melimpah. Bukan hanya cerita-cerita lucu yang imajinatif, namun berupa pengalamannya sendiri ketika berinteraksi dengan kalangan seniman teman-temanya. Dalam pembicaraan santai, tak jarang Thalib lantas mengudar koleksi anekdotnya yang rasanya tak pernah kering itu. Diantara sekian banyak cerita lucunya itu, berikut ini adalah beberapa contoh anekdotnya.

Iso Iso Ae

Ketika masih tinggal di rumah Jalan Gresik Surabaya, Thalib sedang sibuk membuat patung di halaman rumahnya yang memang berada di tepi jalan besar. Tahu-tahu ada seorang lelaki berdiri di balik pagar, kedua tangannya disandarkan ke bibir pagar itu, sambil mengamat-amati Thalib bekerja. Tidak berapa lama, terdengar komentarnya: Iso-iso ae…. (bisa-bisa saja). Thalib diam saja, agaknya orang itu mengagumi patung yang sedang dikerjakan Thalib. Kemudian, lelaki tadi dengan santainya membuka pintu pagar dan masuk halaman sambil tatapannya masih tertuju pada patung yang sedang dikerjakan itu. Lagi-lagi terdengar komentarnya: Iso-iso ae…… Kemudian dia duduk di bangku kayu. Thalib masih tak bereaksi. Dan si lelaki itu selang beberapa saat mengeluarkan komentar yang sama: Iso-iso ae….

Dan akhirnya, tamu tak diundang itu berkata pada Thalib: ”Pak, saya mau pulang ke Gresik, sampeyan bisa bisa nambahi sangu buat ongkos naik angkutan….” Thalib segera merogoh kantongnya, spontan tercetus ucapan: Iso-iso ae…… Oh maaf. Thalib langsung menutup mulutnya dengan tangan, meski dalam hatinya geli sendiri.